Dalam menentukan atau
menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada
sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an yang
memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman.
Disamping itu
terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an terhadap hal-hal yang masih
bersifat umum. Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma’, Qiyas. Sebagai
salah satu acuan dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum.
Untuk itu, perlu adanya
penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti Al-Qur’an,
Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami pengertian
serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.
PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN RUANG LINGKUPNYA
Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang merupakan
mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum dan
pedoman hidup bagi pemeluk Islam dan bernilai ibadat yang membacanya.
Ruang Lingkupnya Al-Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada 5:
- Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, malaikat-malaikat Nya, Kitab-kitab Nya, Rosul-rosul Nya, Hari Akhir dan Qodho, Qadar yang baik dan buruk.
- Tuntutan ibadat sebagai perbuatan yang jiwa tauhid.
- Janji dan Ancaman
- Hidup yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
- Inti sejarah orang-orang yang taat dan orang-orang yang dholim pada Allah SWT.
Dasar-dasar Al-Qur’an Dalam Membuat Hukum
1. Tidak memberatkan
“Allah tidak membenari seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya.”
Misalnya:
- Boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
- Boleh makan-makanan yang diharamkan jika dalam keadaan terpaksa/memaksa.
- Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu.
2. Menyedikitkan beban
Dari prinsip tidak memberatkan itu, maka terciptalah
prinsip menyedikitkan beban agar menjadi tidak berat. Karena itulah lahir
hukum-hukum yang sifatnya rukhsah. Seperti: mengqashar sholat.
3. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum
Hal ini dapat diketahui, umpamanya; ketika
mengharamkan khomr.
- Menginformasikan manfaat dan mahdhorotnya.
- Mengharamkan pada waktu terbatas, yaitu; sebelum sholat.
- Larangan secara tegas untuk selama-lamanya.
KEDUDUKAN HADIST, IJMA’ DAN QIYAS
1. Kedudukan Al-Hadist/Al-Sunnah
Nabi Muhammad sebagai
seorang rosul menjadi panutan bagi umatnya disamping sebagai ajaran hukum. Baik
yang diterima dari Allah yang berupa Al-Qur’an maupun yang ditetapkan sendiri
yang berupa al-Sunnah.
Banyak sekali masalah yang sulit ditemukan hukumnya
secara eksplisit dalam Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, maka banyak
orang mencarinya dalam as-Sunnah. Selain diindikasikan
dalam Al-Qur’an, para ulama pun telah bersepakat untuk menetapkan al-Sunnah
sebagai sumber ajaran Islam.
Sunnah yang dijalankan
Nabi pada dasarnya adalah kehendak Allah juga. Dalam arti bahwa Sunnah itu
sebenarnya adalah risalah dari Allah yang manifestasikan dalam ucapan,
perbuatan dan penetapan Nabi. Maka sudah sepantasnya, bahkan seharusnya
bilamana Sunnah Nabi dijadikan sumber dan landasan ajaran Islam.
2. Kedudukan Ijma
Kebanyakan ulama
menetapkan, bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber ajaran Islam dalam
menetapkan suatu hukum.
Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rosulnya dan Ulil Amri
diantara kamu”.
Maka dapat disimpulkan
bahwa, apabila mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum suatu
masalah/peristiwa, maka mereka wajib ditaati oleh umat. Ijma’ dapat dijadikan
alternatif dalam menetapkan hokum suatu peristiwa yang didalam Al-Qur’an atau
as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
3. Kedudukan Qiyas
Qiyas menduduki tingkat
keempat, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang
berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang
mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an.
Mereka
mendasarkan hal tersebut pada firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 2 yang
artinya;
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang
yang mempunyai pandangan.”
PENGERTIAN TENTANG NASH DAN SYARI’AH
1. Pengertian Nash
Menurut bahasa, Nash
adalah raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Oleh sebab
itu, dalam mimbar nash ini sering disebut munashahat, sedangkan menurut istilah
antara lain dapat dikemukakan di sini menurut:
Ad-Dabusi :
“Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada
zhahar bila ia dibandingkan dengan lafzh shahir.”
Al-Bazdawi :
“Lafazh yang lebih jelas
maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan
dari rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari definisi-definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan
kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari
pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar uraian
tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu
adalah:
“Nash adalah suatu lafazh
yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan,
namun ia mempunyai kemungkinan ditakshish dan takwil yang kemungkinannya lebih
lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia
dapat dinasikh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai contoh adalah ayat Al-Qur’an, seperti yang
dijadikan contoh dari lafazh zhahir.
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَى.
Dilalah nash dari ayat tersebut adalah tidak adanya
persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertiannya diambil dari
susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih memberi kejelasan
daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil
dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
Pengertian Syari’ah
Dilihat dari sudut
kebahasaan kata, syari’ah bermakna
“Jalan yang lapang atau jalan yang dilalui
air terjun.”
Syari’ah adalah semua
yang disyari’atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an ataupun
melalui Sunnah Rasul. Syari’ah itu adalah
hukum-hukum yang disyari’atkan Allah bagi hamba-hamba Nya (manusia) yang dibawa
oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far’iyah
amaliyah (cabang-cabang amaliyah).
Dan untuk itulah fiqih dibuat, atau yang
menyangkut petunjuk beri’tiqad yang disebut ashliyah i’tiqadiyah (pokok
keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Pengertian syari’ah
menurut Syaikh Mahmud Shaltut yakni, syari’at menurut bahasa ialah tempat yang
didatangi atau dituju manusia dan binatang untuk minum air. Menurut istilah
ialah hukum-hukum dan tata aturan yang disyari’atkan Allah buat hamba-Nya agar
mereka mengikuti dan berhubungan antar sesamanya.
Perkataan syari’ah
tertuju pada hukum-hukum yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Kemudian dimasukkan kedalamnya hukum-hukum yang telah disepakati (di ijma’)
oleh para sahabat Nabi, tentang masalah-masalah yang belum ada nashnya dan yang
belum jelasa dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah (masalah yang di ijtihad).
Juga
dimasukkan kedalamnya hokum-hukum yang ditetapkan melalui qiyas. Dengan
perkataan lain syari’at itu adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan
ditetapkan oleh Allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti
dan dilaksanakan oleh manusia didalam kehidupannya.
Pengertian syari’ah menurut
Muhammad Salam Maskur dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy. Salah satu makna
syari’ah adalah jalan yang lurus.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Jaatsiyah:
18
ثُمَّ جَعَلْنَكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَاوَلاَ
تَتَّبِعْ اَهْوَآءَ الَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ. (الجاثية: 18)
“Kemudian Kami jadikan
kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka
ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.”
(QS. Al-Jaatsiyah: 18)
Para fuqaha memakai kata
syari’ah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya
dengan perantara Rasul-Nya, supaya para hamba-Nya itu melaksanakannya dengan
dasar iman, baik hukum itu mengenai lahiriah maupun yang mengenai akhlak dan
aqaid, kepercayaan dan bersifat batiniah.
Menurut asy-Syatibi di
dalam kitabnya al-Muwafaqat,
“Bahwa syari’ah itu adalah ketentuan hukum yang
membatasi perbuatan, perkataan dan i’tiqad, orang-orang mukallaf.”
Demikianlah makna
syari’at, akan tetapi jumhur mutaakhirin telah memakai kata syari’ah untuk nama
hukum fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Atas
dasar pemakaian ini, timbul perkataan.
Islam itu adalah aqidah dan syari’ah sebagaimana
dikemukakan Syekh Mahmud Shaltut. Syari’ah Islam adalah syari’ah penutup,
syari’ah yang paling umum, paling lengkap, dan mencakup segala hukum, baik yang
bersifat keduniaan maupun keakhiratan.
TEORI
DAN KONSEP ISTIMBATH HUKUM DALAM ISLAM
Bila para ulama hadist
dihadapkan kepada suatu masalah, pertama kali para ulama ahlul haidst mencari
penyelesaian masalah itu kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi/Rasul. Apabila para
ulama hadist mendapat hadist yang berbeda-beda, maka mereka mengambil hadist
sebagai sumber hukum, dari hadist yang diriwayatkan oleh para perawi hadist
yang lebih utama dan memenuhi persyaratan.
Kalau para ulama tersebut tidak
menemukan hadistnya, selanjutnya mereka meninjau dan mempedomani pendapat para
sahabat Nabi. Andaikata tidak juga diperoleh pendapat para sahabat mengenai
masalah yang sedang dihadapi para ulama hadist tersebut, maka selanjutnya
barulah mereka melaksanakan ijtihad untuk menyelesaikan suatu masalah hukum
Islam, atau mereka belum/tidak menyampaikan fatwa kepada masyarakat.
Masa
mereka enggan berfatwa ini tidak lama, hanya sampai kepada masa wafatnya Imam
Daud ibnu Ali. Para ulama Fuqaha sesudah itu selalu memperhatikan/melaksanakan
fatwa, baik yang telah terjadi, walaupun yang belum atau mungkin terjadi.
Berarti mereka selalu melaksanakan ijtihad terhadap sesuatu masalah yang baru,
dan belum teratur dasar hukumnya, sehingga segala masalah dapat mereka tentukan
hukumnya berdasarkan hasil ijtihad para ulama hadist (aliran Madrasah Hadist).
IJTIHAD DAN PERBEDAAN MAZDHAB
1. Ijtihad
Pengertian Ijtihad Dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu
dengan segala kesungguhan. Sedang menurut pengertian syara’ ijtihad adalah:
اَ ْلإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ جُكْمٍ
َِرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.
"Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah."
Adapun pengertia ijtihad
ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’),
melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’
dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan
sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.
Ijtihad mempunyai peranan
yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam
kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas
kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang).
Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia
menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat
bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami
umat manusia.
Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam
setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan
keluasan dan keluwesan hukum Islam.
2. Perbedaan Mazdhab
Menurut bahasa mazdhab berarti “Jalan atau tempat yang
dilalui. Menurut istilah para Faqih Mazdhab mempunyai dua pengertian yaitu:
- Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu masalah.
- Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam.
Dari kedua pengertian
diatas dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah:
“Hasil ijtihad
seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau
tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Dengan demikian,bahwa
pengertian bermazdhab adalah:
“Mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang
ukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Orang yang melakukan
ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi, Maliki,
Syahi’i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh
sebagian besar umat Islam.
Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing Imam
Mazdhab bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung hanya
ingin mendalami mazdhab tertentu saja. Hal ini disebabkan, karena pengaruh
lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru yang menganut
suatu mazdhab saja.
Menganut suatu aliran
mazdhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya menutup
pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada
pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
SAW. Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak fanatik kepada suatu mazdhab.
Andai kata sukar
menghindari kefanatikan kepada suatu mazdhab, sekurang-kurangnya mampu
menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.
Dibawah ini akan dikemukakan beberapa tokoh Imam
Mazdhab.
IMAM HANAFI
Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam menetapkan suatu
hukum.
1. Al Kitab
Al Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala
permasalahan hukum agama merujuk kepada al-Kitab tersebut atau kepada jiwa
kandungannya.
2. As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan
al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum (global).
3. Aqwalush Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam
pandangan Abu Hanifah. Karena menurutnya, mereka adalah orang-orang yang
membawa ajaran Rasul sesudah generasinya.
4. Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata
dalam Al-Qur’an, Sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan.
5. Al-Istihsan
6. Urf
Pendirian beliau adalah
mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta
mempertahankan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat
bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam
Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan
cara Qiyas) beliau melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya.
Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kembali kepada Urf manusia.
IMAM MALIKI BIN ANAS
Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.
- Al-Qur’an
- Sunnah Rasul yang beliau pandang sah.
- Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
- Qiyas
- Istishlah (Mashalihul Mursalah)
IMAM SYAFI’I
Dasar-dasar hukum yang dipakai Imam Syafi’i. Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam
Syafi’i sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai
berikut:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah
tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun diambil dan
dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya,
yakni selama perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung
langsung sampai kepada Nabi SAW.
3. Ijmak
Dalam arti bahwa para sahabat semuanya telah
menyepakatinya
4. Qiyas
Imam Syafi’i memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar
hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa.
5. Istidlal (Istishhab)
IMAM AHMAD BIN HAMBALI
Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan
berlandaskan kepada dasar-dasar sebagai berikut:
- Nash Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
- Fatwa Sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan Ijmak.
- Pendapat sebagian sahabat yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
- Hadist Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau Hadist Daif akan tetap dipakai, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
- Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.
KESIMPULAN
Al-Qur’an merupakan sumber
utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam menentukan hukum ajaran Islam.
Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk kepada Al-Qur’an tersebut atau
kepada jiwa kandungannya.
Apabila penegasan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an
masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum kedua, yang mana
berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Sumber hukum yang lain
adalah Ijmak dan Qiyas.
Ijmak dan Qiyas merupakan sumber pelengkap, yang mana
wajib diikuti selama tidak bertentangan dengan nash syari’at yang jelas.
Demikian artikel mengenai Sumber Ajaran Islam, semoga informasi yang diberikan bermanfaat.
Sumber Referensi
Rifai, Moh. Fiqih, CV. Wicaksana, Semarang, 2003
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazdhab, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003
Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1994.
Syafi’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia,
Bandung, 1999.