Umat muslim, dalam hidupnya berpegang teguh pada Al Qur’an dan Al Hadist sebagai pedoman hidupnya. Dari kedua pedoman tersebut, umat muslim tidak perlu khawatir dalam menjalani persoalan hidup. Segala apa yang menjadi persoalan, solusi, peringatan, kebaikan dan ancaan termuat di dalam pedoman tersebut.
Bahkan dalam Al-Qur’an dan Al Hadist permasalahan politik juga tertuang didalamnya. Diantaranya membahas: prinsip politik islam, prinsip politik luar negeri islam. Baik politik luar negeri dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang.
Pengertian Politik Islam
Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu.
Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).
Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun).
Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya.
Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan :
‘Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila pemeliharanya ngengat (sûsah)’
Artinya: Bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu.
Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :
"Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah."
(HR. Bukhari dan Muslim).
Teranglah bahwa politik atau siyasahitu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka.
Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal.
Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)
Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Ia menjawab :
"Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa"
(HR. Ahmad)
Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim.
Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam.
Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi.
Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam).
Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak memengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam.
Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.
Tujuan Politik Islam
Politik tidak pernah lepas dari kehidupan sehari-hari. Apalagi dalam kehidupan bernegara, maka sudah barang tentu perlu pemahaman mengenai pengertian dan tujuan sebuah politik. Politik hanyalah sebagai alat untuk mencapai kemakmuran bersama, bukan sebagai tujuan semata.
Namun, dewasa ini banyak orang yang menganggap bahwa politik itu buruk. Karena memang, banyak sekali perilaku para politisi kita saat ini, yang tidak patut untuk dicontoh. Misalnya saja, kasus korupsi yang kian massif dilakukan oleh mereka.
Oleh sebab itu, perlu pemahaman dan pencerahan terhadap permasalahan tersebut. Dalam kehidupan bernegara, politik akan menjadi buruk apabila dikuasai oleh orang-orang jahat. Maka dari itu, politik harus diisi oleh orang-orang yang memiliki sikap seperti Rasul, yakni shidiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
Hakikat Tujuan Politik
- Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama.
- Kedua, politik merupakan segala hal yang berkaitan dengan penyelenggara negara dan pemerintahan.
- Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.
- Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan, bahwasanya politik itu baik. Sebab, politik merupakan usaha untuk mengurusi sebuah tatanan kenegaraan yang tentunya mempunyai tujuan baik pula.
Apabila kita mengaitkan dengan terminologi islam, politik juga bisa disebut “siyasah” yang berarti mengurusi. Mengurusi di sini ialah, condong kepada kebaikan. Oleh sebab itu, mari kita tegakkan kebaikan, dan melawan kebatilan.
Tujuan politik ialah sebuah keadilan (justice). Ini disebabkan karena, keadilan merupakan hal yang esensial bagi pemenuhan kecenderungan alamiah manusia. Bahkan Allah mengharuskan untuk menegakkan keadilan walaupun dengan keluarga dan kerabat terdekat kita.
Namun, Thomas Hobbes meiliki pandangan lain, pada dasarnya manusia itu mementingkan diri sendiri dan bersifat rasional. Oleh sebab itu, secara alamiah manusia cenderung berkonflik dengan sesamanya. Sifat mementingkan diri sendiri tampak dalam persaingan memperebutkan perolehan kekayaan, ketidakberanian demi keselamatan, dan kemuliaan demi reputasi. Sifat individual inilah yang ditentang oleh islam.
Oleh sebab itu, dari adanya asumsi mayarakat bahwa politik itu buruk, sebenarnya telah terpatahkan dengan pendapat yang ada di atas. Dengan demikian politik merupakan ilmu yang sangat urgen yang “wajib” dimiliki setiap individu masing-masing. Karena di dalamya mengandung sebuah kebaikan. Untuk mari berpolitik untuk menciptakan sebuah keadilan yang semoga diridhoi oleh Allah SWT.
Prinsip Politik Islam
Islam tidak memberikan batasan sistem pemerintahan, tetapi menyerahkan kepada umat untuk memilih dengan bebas sistem yang sesuai dengan kultur, lingkungan, zaman serta mengingat bahwa ajakan Islam adalah dakwah universal, cocok untuk segala zaman dan tempat.
Setiap sistem pemerintahan Islam tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip politik dan perundang-undanganya pada al-Quran, karena al-Quran merupakan sumber pokok dari perundang-undangan tersebut.
Al-Quran memang tidak menyebutkan bagian perbagian secara terperinci. Hal tersebut tampaknya memang dibiarkan oleh Allah, agar lewat ijtihad umat Islam mampu mengembangkannya menjadi sistem politik dan perundang-undangan yang sesuai dengan kebutuhan waktu dan lingkungannya.
Sumber pokok kedua adalah Sunnah yang merupakan petunjuk pelaksanaan yang secara umum melengkapi norma-norma yang ada dalam al-Quran. Karena itu prinsip-prinsip konstitusional dan politik terikat kepada kedua sumber tersebut.
Karena kedua sumber itu memang menjadi pokok pegangan dalam segala aturan yang menyangkut seluruh aspek kehidupan setiap muslim. Selain kedua sumber hukum tersebut, dalam sistem politik Islam juga terdapat sumber hukum hukum Qanuni, yang bersumber dari lembaga-lembaga pemerintahan.
Secara hirarki sumber hukum yang tertinggi dalam sistem ini adalah hukum yang pertama. Karena itu kedaulatan hukum berada dalam al-Quran, karena di dalamnya terkandung kehendak Allah tentang tertib kehidupan manusia khususnya dan tertib alam semesta pada umumnya.
Cita-cita politik seperti yang dijanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh yang terkandung dalam al-Quran adalah (1) Terwujudnya sebuah sistem politik. (2) Berlakunya hukum Islam dalam masyarakat secara mantap. (3) Terwujudnya ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai politik yang konstitusional yang terdapat dalam al-Quran pada dasarnya terdiri atas musyawarah, keadilan, kebebasan, persamaan, kewajiban untuk taat dan batas wewenang dan hak penguasa.
1. Prinsip Musyawarah
Dalam prinsip perundang-undangan Islam, musyawarah dinilai sebagai lembaga yang amat penting artinya. Penentuan kebijaksanaan pemerintah dalam sistem pemerintahan Islam haruslah didasarkan atas kesepakatan musyawarah. Karena itu musyawarah merupakan prinsip penting dalam politik Islam.
Prinsip musyawarah ini sesuai dengan ayat al-Quran Surah Ali Imran ayat 159:
"Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkalah pada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa kepada Allah."
2. Prinsip Keadilan
Agama Islam menempatkan aspek keadilan pada posisi yang amat tinggi dalam sistem perundang-undangannya. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan berbuat adil dalam segala aspek kehidupan manusia.
Seperti yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 90:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang dari perbuatan keji, munkar dan bermusuhan. Dia member pelajaran agar kamu men gambil pelajaran.”
Ayat tersebut diatas memerintahkan kepada umat Islam untuk berlaku adil, sebaliknya melarang dan mengancam dengan sanksi hukum bagi orang yang berbuat sewenang-wenang. Kewajiban berlaku adil dan menjauhi perbuatan zalim mempunyai tingkatan yang amat tinggi dalam struktur kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
Keadilan merupakan tujuan umum atau tujuan akhir dalam pemerintahan Islam. Dari segi realitas sejarah, sejarah para Khulafaur Rashidin yang nota bene mencontohkan teladan nabi adalah prototipe yang lengkap dan sangat hidup dalam memahami makna keadilan dan memegang prinsipnya dalam kehidupan.
3. Prinsip Kebebasan
Yang dimaksud dengan kebebasan di sini bukanlah kebebasan bagi warganya untuk dapat melaksanakan kewajibanya sebagai warga negara, tetapi kebebasan di sini mengandung makna yang lebih positif.
Yaitu kebebasan bagi warga negara untuk memilih suatu yang lebih baik, atau kebebasan berfikir yang lebih baik dan mana yang lebih buruk, sehingga proses berfikir ini dapat melakukan perbuatan yang baik sesuai dengan pemikiranya.
Kebebasan berfikir dan berbuat ini pernah diberikan oleh Allah kepada nabi Adam dan Hawa untuk mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Allah. Sebagai mana Firman Allah Surat Taha ayat 123:
"Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama sebagaimana kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dariKu, lalu barang siapa yang men gikuti petunjuk dari-Ku ia tak akan tersesat dan tidak akan celaka."
Islam mengakui adanya kebebasan berfikir. Bahkan menjamin sepenuhnya dan dinilai sebagai ahlak dasar setiap manusia. Dalam sistem perundang-undanganya Islam juga sangat menghargai nilai-nilai kebebasan itu. Penghargaan sistem perundang-undangan Islam terhadap kebebasan itu tidak dapat dibandingkan dengan sistem lainya yang diciptakan manusia.
4. Prinsip Persamaan
Prinsip persamaan berarti bahwa setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak yang sama, juga mempunyai persamaan mendapatkan kebebasan dalam berpendapat, kebebasan, tanggung jawab, dan tugas-tugas kemasyarakatan tanpa diskriminasi rasial, asal usul, bahasa dan keyakinan.
Berdasarkan prinsip persamaan ini sebenarnya tidak ada rakyat yang diperintah secara sewenang-wenang dan tidak ada penguasa yang memperbudak rakyatnya. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan berbagai bangsa dan suku bukanlah untuk membuat jarak antara mereka.
Bahkan diantara mereka agar dapat saling tukar pengalaman. Al-Quran menegaskan yang membedakan diantara manusia adalah hanya karena taqwanya.
Sebagaimana firman Allah Surat al-Hujurat ayat 13:
"Hai manusia sesungguhnya kami menetapkan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling men genal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha men getahui lagi maha mengenal."
Dari uraian tersebut diatas tidak disangsikan lagi kekuatan prinsip persamaan itu dalam sistem hukum Islam. Pelaksanaanya berlaku menyeluruh dalam sistem hukum dan pemerintahan Islam. Sebab sistem itu memang menjadi bagian yang integral dari ajaran Islam.
Kontribusi Umat Islam Dalam Perpolitikan Umat Islam
Kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional tidak bisa dipandang sebelah mata. Di setiap masa dalam kondisi perpolitikan bangsa ini, Islam selalu punya pengaruh yang besar. Sejak bangsa ini belum bernama Indonesia, yaitu era berdirinya kerajaan-kerajaan hingga saat ini, pengaruh perpolitikan bangsa kita tidak lepas dari pengaruh umat Islam.
Salah satu penyebabnya adalah karena umat Islam menjadi penduduk mayoritas bangsa ini. Selain itu, dalam ajaran Islam sangat dianjurkan agar penganutnya senantiasa memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi orang banyak, bangsa, bahkan dunia.
Penguasaan wilayah politik menjadi sarana penting bagi umat Islam agar bisa memberikan kontribusi bagi bangsa ini. Sekarang mari kita amati kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional di setiap era/ masa bangsa ini:
1. Era Kerajaan-Kerajaan Islam Berjaya
Pengaruh Islam terhadap perpolitikan nasional punya akar sejarah yang cukup panjang. Jauh sebelum penjajah kolonial bercokol di tanah air, sudah berdiri beberapa kerajaan Islam besar. Kejayaan kerajaan Islam di tanah air berlangsung antara abad ke-13 hingga abad ke-16 Masehi.
2. Era Kolonial dan Kemerdekaan (Orde Lama)
Peranan Islam dan umatnya tidak dapat dilepaskan terhadap pembangunan politik di Indonesia baik pada masa kolonial maupun masa kemerdekaan. Pada masa kolonial Islam harus berperang menghadapi ideologi kolonialisme sedangkan pada masa kemerdekaan Islam harus berhadapan dengan ideologi tertentu macam komunisme dengan segala intriknya.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejarah secara tegas menyatakan kalau pemimpin-pemimpin Islam punya andil besar terhadap perumusan NKRI. Baik itu mulai dari penanaman nilai-nilai nasionalisme hingga perumusan Undang-Undang Dasar Negara.
Para pemimpin Islam terutama dari Serikat Islam pernah mengusulkan agar Indonesia berdiri di atas Daulah Islamiyah yang tertuang di dalam Piagam Jakarta. Namun, format tersebut hanya bertahan selama 57 hari karena adanya protes dari kaum umat beragama lainnya. Kemudian, pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia menetapkan Pancasila sebagai filosofis negara.
3. Era Orde Baru
Pemerintahan masa orde baru menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas di dalam negara. Ideologi politik lainnya dipasung dan tidak boleh ditampilkan, termasuk ideologi politik Islam. Hal ini menyebabkan terjadinya kondisi depolitisasi politik di dalam perpolitikan Islam.
Politik Islam terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama di sebut kaum skripturalis yang hidup dalam suasana depolitisasi dan konflik dengan pemerintah. Kelompok kedua adalah kaum subtansialis yang mendukung pemerintahan dan menginginkan agar Islam tidak terjun ke dunia politik.
4. Era Reformasi
Bulan Mei 1997 merupakan awal dari era reformasi. Saat itu rakyat Indonesia bersatu untuk menumbangkan rezim tirani Soeharto. Perjuangan reformasi tidak lepas dari peran para pemimpin Islam pada saat itu. Beberapa pemimpin Islam yang turut mendukung reformasi adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketua Nahdatul Ulama.
Muncul juga nama Nurcholis Majid (Cak Nur), cendikiawan yang lahir dari kalangan santri. Juga muncul Amin Rais dari kalangan Muhamadiyah. Bertahun-tahun reformasi bergulir, kiprah umat Islam dalam panggung politik pun semakin diperhitungkan.
Umat Islam mulai kembali memunculkan dirinya tanpa malu dan takut lagi menggunakan label Islam. Perpolitikan Islam selama reformasi juga berhasil menjadikan Pancasila bukan lagi sebagai satu-satunya asas. Partai-partai politik juga boleh menggunakan asas Islam.
Kemudian bermunculanlah berbagai partai politik dengan asas dan label Islam. Partai-partai politik yang berasaskan Islam, antara lain PKB, PKU, PNU, PBR, PKS, PKNU, dan lain-lain.
Dalam kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan sekarang, sudah waktunya umat Islam untuk terjun dalam perjuangan politik yang lebih serius.
Umat islam tidak boleh lagi bermain di wilayah pinggiran sejarah. Umat Islam harus menyiapkan diri untuk memunculkan pemimpin-pemimpin yang handal, cerdas, berahklak mulia, profesional, dan punya integritas diri yang tangguh.
Umat Islam di Indonesia diharapkan tidak lagi termarginalisasi dalam panggung politik. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai rahmatan lil alamin dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa ini.
Kesimpulan
Politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat. Pemikiran tersebut berupa pedoman, keyakinan hukum atau aktivitas dan informasi. Beberapa prinsip politik islam berisi: mewujudkan persatuan dan kesatuan bermusyawarah, menjalankan amanah dan menetapkan hukum secara adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab.
Mentaati Allah, Rasulullahdan Ulill Amr (pemegang kekuasaan) dan menepati janji. Korelasi pengertian politik islam dengan politik menghalalkan segala cara merupakan dua hal yang sangat bertentangan. Islam menolak dengan tegas mengenai politik yang menghalalkan segala cara.
Pemerintahan yang otoriter adalah pemerintahan yang menekan dan memaksakn kehendaknya kepada rakyat. Setiap pemerintahan harus dapat melindungi, mengayomi masyarakat. Sedangkan penyimpangan yang terjadi adalah pemerintahan yang tidak mengabdi pada rakyatnya, menekan rakyatnya.
Sehingga pemerintahan yang terjadi adalah otoriter. Yaitu bentuk pemerintahan yang menyimpang dari prinsip-prinsip islam. Dalam politik luar negerinya Islam menganjurakan dan menjaga adanya perdamain.
Walaupun demikan islam juga memporbolehkan adanya perang, namun dengan sebab yang sudah jelas karena mengancam kelangsungan umat muslim itu sendiri. Dan perang inipun telah memiliki ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya. Jadi tidak sembarangan perang dapat dilakukan. Politik islam menuju kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh umat.
Penutup
Ada baiknya jika kita mempelajari tentang pemikiran terutama baik tentang pertumbuhannya, hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini merupakan faktor yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini. Demikian artikel mengenai Politik Islam, semoga informasi yang diberikan bermanfaat.
Sumber Referensi
http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam
Din Syamsudin,Islam dan Politik Orde Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001).
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya, Yayasan Penyelenggara/ Penterjemah Al-Qur’an, Jakarta, 1985).
Alamsyah Ratu Perwira Negara, Islam dan Pembangunan Politik di Indonesia, (Jakarta: Haji Masagung, 1987).
