Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
Konsep Manusia dalam Al Qur’an
Dalam Al Qur’an, manusia berulang kali diangkat derajatnya, dan berulangkali pula direndahkan. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga bahkan Malikat, tetapi pada saat yang sama mereka tak lebih berarti dibandingkam dengan setan terkutuk dan binatang melata sekalipun.
Manusia dihargai sebagai khalifah dan makhluk yang mampu menaklukkan alam (taskhir). Namun, posisi ini bisa merosot ke tingkat ‘yang paling rendah dari segala yang rendah (asfala safiin)’.
Gambaran kontradiktif menyangkut keberadaan manusia itu menandakan bahwa makhluk yang namanya manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, ada di antara predisposisi negative dan positif. Al Qur’an memperkenalkan tiga istilah kunci (key term) yang mengacu pada makna pokok manusia, yaitu Al Basyar, Al Insan, dan An Nas. Penggunaan ketiga istilah itu jelas memiliki makna signifikan.
AL-BASYAR, Dalam firman Allah SWT:
“Bukankah Rosul itu memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar”.
QS. Al Furqon(25): 7
“Tidak Kami utus sebelummu para utusan kecuali merekaitu makan makanan dan berjalan-jalan di pasar”.
QS. Al Furqon(25):20
Keterjebakan orang-orang kafir_selain karena kecongkakannya, terletak pada pandangannya yang melihat seorang Nabi hanya pada sisi biologis. Karena itu, dalam pandangan mereka, ajakan Nabi tidak harus dan tidak mesti dipatuhi, karena mereka beranggapan Nabi itu berasal dari komunitasnya sendiri.
Mereka tidak mempertimbangkan aspek lain dari kehadiran seorang utusan Allah, misalnya kapasitas, moralitas, kredibilitas kepribadiannya, dan akseptabilitasnya di mata umatnya. Merujuk pada Nabi-nabi sebelumnya, Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk menegaskan bahwa secara biologis ia memang seperti manusia yang lain,
“Katakanlah (Muhammad kepada mereka bahwa), aku ini manusia biasa (basyar) seperti kamu. Hanya saja aku diberi wahyu (oleh Allah dan diberi mandat untuk menyampaikan dakwah) bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang satu.”
QS. Al Kahfi(18):110 (lihat juga QS.41:6)
Kelebihan dan letak perbadaan Nabi dan manusia biasa dalam komunitasnya bukan dari aspek biologisnya, tetapi keterutusannya dan penunjukan langsung dari Allah untuk membawa risalah-Nya. Pada sisi inilah Nabi dipandang sebagai “manusia luar biasa”.
Beberapa ayat tadi dengan jelas menegaskan bahwa konsep basyar selalu dihubungkan denga sifat-sifat ketubuhan (biologis) manusia yang mempunyai bentuk/postur tubuh, mengalami pertumbuhan dan perkembangan jasmani, makan, minum, berjalan-jalan di pasar, bergerak dan lain-lain.
Dengan kata lain, basyar dipakai untuk merujuk dimensi alamiah yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya.
AL-INSAN
Kata Al Insan disebut sebanyak 65 kali dalam Al Qur’an. Hampir semua ayat yang menyebut manusia dengan menggunakan Al Insan, konteksnya selalu menampilkan manusia sebagai makhluk yang istimewa, secara moral maupun spiritual. Makhluk yang memiliki keistimewaan dan keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.
Jalaluddin Rahmat (1994) memberi pengertian luas Al Insan ini pada tiga kategori.
- Pertama, Al Insan dibubungkan dengan keistimewaan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan pemikul amanah.
- Kedua, Al Insan dikaitkan dengan predisposisi negative yang inheren dan laten pada diri manusia. Kedua konteks di atas merujuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
- Ketiga, Al Insan disebut-sebut dalam hubungannya dengan proses penciptaan manusia.
AN-NAS
Konsep An Nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam arti An Nas ini paling banyak disebut Al Qur’an (240 kali). Menariknya, dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, Al Qur’an tidak pernah melakukan generalisasi.
Manusia dalam berbagai perspektif
Telaah ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang manusia, memberi gambaran kontradiktif menyangkut keberadaannya. Disatu sisi manusia dalam al-Quran sering mendapat pujian Tuhan. Seperti pernyataan terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya.
Kemudian penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk lain. Sedang di sisi lain sering pula manusia mendapat celaan Tuhan. Seperti bahwa ia amat aniaya dan ingkar nikmat, dan sangat banyak membantah serta bersifat keluh kesah lagi kikir.
Gambaran kontradiktif itu bukanlah berarti bahwa ayat-ayat yang berbicara perihal manusia bertentangan satu sama lain, melainkan justru menandakan bahwa makhluk yang bernama manusia itu unik, makhluk yang serba dimensi, dan makhluk yang berada di antara predisposisi negatif dan positif.
Hal ini dapat difahami dengan mengkaji asal-usul kejadiannya, proses penciptaannya dan keragaman terminologinya dalam al-Quran.
Asal-usul kejadian manusia
Generasi manusia yang ada sampai sekarang, dalah berasal dari manusia pertama yang bernama Adam dengan istrinya yang populer bernama Hawa. Diantara ayat yang secara jelas menyatakan bahwa Adam dan Hawa adalah ayah dan ibu generasi manusia setelahnya, adalah:
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّة
“Hai anak-anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan, sebagaimana ia telah mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga”
(QS. Al-A’raf : 27)
Adam sendiri diciptakan dari tanah sebagaimana diceritakan oleh Allah SWT dalam beberapa firman-Nya yang salah satunya pada firman berikut:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah adalah semisal Adam. Allah menciptakan-Nya dari tanah, kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah’ maka jadilah dia”
(QS. Ali Imran : 59)
Ayat ini secara explisit merupakan bantahan terhadap para pengagum Isa as yang menilainya sebagai anak Tuhan, karena beliau tidak lahir melalui seorang ayah, melainkan melalui kalimat Allah. Tetapi secara implisit menjelaskan kejadian Isa as yang semisal dengan kejadian Adam as yaitu diciptakan dari tanah melalui proses yang mudah dan cepat sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Kata ‘kun’ pada ayat di atas tidaklah benar bila dijadikan dasar bahwa Adam as diciptakan dalam sekejap tanpa proses sebagaimana yang difahami kebanyakan orang. Karena disamping dalam hal mencipta Allah SWT, tidak memerlukan sesuatu apapun untuk mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya, termasuk tidak perlu mengucapkan ‘kun’.
Juga karena pada ayat yang lain Allah SWT melukiskan, bahwa Dia menciptakan Adam as dari tanah, dan setelah Dia sempurnakan kejadiannya, Dia tiupkan ruh ciptaan-Nya.
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِين
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya (Adam), dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”
(QS. al-Hijr :29)
Maka kata ‘kun’ pada ayat di atas, disebutkan hanyalah sekedar untuk menggambarkan kemudahan dan kecepatan wujud apa yang dikehendaki Allah SWT. Dan ayat tersebut, sama sekali tidak menjelaskan apa yang terjadi dan proses apa yang dilalui antara penciptaan dari tanah dengan penghembusan ruh ciptaan-Nya.
Jika diibaratkan penciptaan dari tanah sama dengan A, dan penghembusan ruh ciptaan-Nya sama dengan Z, maka antara A dan Z tidak dijelaskan baik materi maupun waktunya.
Melalui ayat QS. Ali Imran : 59 pula, Allah SWT membantah keyakinan umat Nasrani yang bersikeras mengatakan bahwa tidak mungkin Isa as lahir tanpa memiliki seorang ayah. Karena Dzat yang mampu menciptakan Adam as tanpa seorang ayah dan seorang ibu. Tentu saja lebih mampu untuk menciptakan Isa as dengan hanya dari seorang ibu.
Dr. G.C. Goeringer, Direktur Kursus dan Profesor Kepala Embriologi Kedokteran di Departemen Biologi Sel Sekolah Kedokteran Universitas Georgetown Washington D.C mengatakan bahwa sains modern saat ini membuktikan bahwa banyak binatang dan makhluk hidup di dunia ini yang terlahir dan berkembang biak tanpa proses pembuahan pihak laki-laki (pejantan) dari spesiesnya.
Sebagai contoh, seekor lebah jantan tidak lebih dari sekedar telur yang belum dibuahi, sedangkan telur yang telah dibuahi (oleh pejantannya) berkembang menjadi lebah betina (ratu). Selain itu, lebah-lebah jantan tercipta dari telur-telur ratu lebah yang tidak dibuahi oleh pejantannya.
Ada banyak sekali contoh yang demikian di dunia hewan. Selain itu, manusia saat ini memiliki sarana sains untuk merangsang telur dari beberapa organisme sehingga telur-telur ini berkembang tanpa pembuahan dari pejantannya.
Lebih lanjut Goeringer menyatakan: Dalam beberapa contoh pendekatan, telur-telur yang tidak dibuahi dari beberapa spesies amfibi dan mamalia tingkat rendah dapat diaktifkan secara mekanik (seperti penusukan dengan sebuah jarum), secara fisik (seperti kejutan panas), atau secara kimia dengan pencampuran dari beberapa substansi kimia yang berbeda, dan berlanjut ke tahap perkembangan. Dalam beberapa spesies, tipe perkembangan secara parthenogenetic seperti ini adalah alami.
Selanjutnya kejadian generasi manusia setelah Adam as, penciptaannya diisyaratkan dalam ayat :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ووَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًاا وَنِسَاء
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya. Allah mengembang biakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan”
(QS. an-Nisa : 1)
Para Mufassir terdahulu memahami kata ‘nafsin wahidah’ (diri yang satu) pada ayat ini dalam arti Adam as. Akan tetapi para Mufassir kontemporer seperti al-Qasimi, Syekh Muhammad Abduh memaknainya dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita.
Sehingga ayat ini kandungannya sama dengan firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”
(QS. al-Hujurat : 13)
Maka kedua ayat di atas pada prinsipnya berbicara sama yaitu tentang asal kejadian manusia dari seorang ayah dan ibu, yakni sperma ayah dan ovum ibu. Hanya tekanannya saja yang berbeda. Jika ayat pertama dalam konteks menjelaskan banyak dan berkembang biaknya manusia dari seorang ayah dan ibu.
Maka ayat kedua konteksnya adalah persamaan hakikat kemanusian orang perorang, dimana setiap orang walau berbeda-beda ayah dan ibunya, tetapi unsur dan proses kejadian mereka sama. Sehingga tidak dibenarkan seseorang menghina atau merendahkan orang lain.
Dengan memaknai kata ‘nafsin wahidah’ dalam arti diri (jenis) yang satu, Thabathaba’i dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat tersebut juga memberi penegasan bahwa pasangan (isteri Adam) yang ditunjuk kata ‘zaujaha’ diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam yakni dari tanah dan hembusan ruh Ilahi.
Menurutnya sedikitpun ayat itu tidak mendukung faham yang beranggapan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagaimana yang difahami para Mufassir terdahulu. Akan halnya hadis riwayat Abi Hazm dari Abi Hurairah ra yang kerap digunakan untuk memperkuat faham itu, selain tertolak kesahihannya sehingga tidak dapat digunakan hujjah (argumentasi).
Juga – sebagaimana mayoritas ulama kontemporer mengatakan - hadis tersebut tidaklah tepat jika difahami dalam pengertian harfiah, melainkan harus difahami dalam pengertian metafora. Maka konteksnya dalam rangka mengingatkan kepada kaum laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana.
Mengingat ada sifat dan kodrat bawaan mereka yang berbeda. Tidak ada seorangpun yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Walhasil makhluk yang bernama manusia, dari mulai manusia pertama Adam as dan istrinya Hawa, juga Isa as, serta generasi manusia setelahnya berasal dari bahan baku yang sama yaitu dari unsur tanah dan hembusan ruh Ilahi.
Hanya model penciptaannya saja yang berbeda. Penciptaan manusia – sebagaimana disimpulkan Quraish Shihab – terdiri dari empat model penciptaan. Model pertama menciptakan dengan tanpa ayah dan ibu, yaitu Adam as.
Kedua menciptakan setelah disampingnya ada lelaki, yaitu isteri Adam as. Model ketiga menciptakan hanya dengan ibu tanpa ada ayah, yaitu Isa as. Dan yang terakhir menciptakan melalui pertemuan lelaki dan perempuan yaitu generasi manusia setelah Adam as.
Ali Syari’ati menafsirkan tanah - sebagai salah satu unsur kejadian manusia - merupakan simbol kerendahan dan kenistaan, sedang unsur yang lain yaitu ruh Allah adalah simbol kemuliaan dan kesucian tertinggi.
Yusuf Qardawi - sebagaimana dikutip Jalaluddin Rahmat – membahasakan manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan ruh Ilahi (baina qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Manusia adalah zat bidimensional (bersifat ganda) terdiri atas sifat material (jasmani) dan sifat spiritual (ruhani).
Sifat materialnya cenderung dan menarik manusia ke arah kerendahan, dan sifat spiritualnya mengarahkan dirinya menaiki puncak setinggi-tingginya. Satu hal yang menarik adalah kedua anasir yang bertentangan itu harus selalu berada dalam keseimbangan.
Tidak boleh seseorang mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh. Begitu pula tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh.
Unsur – unsur Manusia
Allah berfirman dalam (Q.S Al Hijr (15): 28-29) yang artinya :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”
(QS. Al Hijr (15) : 28-29)
Ayat-ayat yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah, umumnya dipahami secara lahiriah. Hal ini itu menimbulkan pendapat bahwa manusia benar-benar dari tanah, dengan asumsi karena Tuhan berkuasa , maka segala sesuatu dapat terjadi.
Ayat-ayat yang menerangkan bahwa manusia diciptakan dari tanah tidak berarti bahwa semua unsur kimia yang ada dalam tanah ikut mengalami reaksi kimia. Hal itu seperti pernyataan bahwa tumbuh-tumbuhan bahan makanannya dari tanah, karena tidak semua unsur kimia yang ada dalam tanah ikut diserap oleh tumbuh-tumbuhan, tetapi sebagian saja.
Dari sini kita megetahui petunjuk dimana sebenarnya bahan-bahan pembentuk manusia yaitu ammonia, menthe, dan air terdapat, yaitu pada tanah, untuk kemudian bereaksi kimiawi.
Jika dinyatakan istilah “Lumpur hitam yang diberi bentuk” (mungkin yang dimaksud adalah bahan-bahan yang terdapat pada Lumpur hitam yang kemudian diolah dalam bentuk reaksi kimia).
1. Proses Saripati Tanah
Pada prosess ini didapati bahwa Allah swt. Melakukan beberapa penyaringan debu tanah.Firman Allah swt :
“kemudian Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari Tanah.”
(Q.S. Al – Mu’minun : 12)
Proses ini bertujuan untuk mendapatkan saripati tanah (sulalat mintin) yang bersih dan amat sesuai unttuk dijadikan bahan sebagai salah satu unsur penciptaan manusia. Ini menunjukkan bahwa tanah yang digunakan telah melalui proses penyaringan dan bukan tanah biasa sebagaimana yang dipikirkan manusia.
Dr Maurice Bucaille menguraikan dengan merujuk pada Surah Al-Furqan : 54 bahwa keturunan manusia juga berasal dari air, yaitu saripati sperma atau yang disebut secara ilmiah spermatozoa. Oleh akrena itu, beliau melihat saripati tanah yang dikemukakan di atas hendaklah dirujuk bersama pelbagai komponen lain yang merangkumi saripati tanah dan saripati air yang menjadi elemen terpenting dalam penciptaan manusia
2. Proses Tanah Melekat
Pada proses ini dikenal sebagai proses tanah melekat. Seperti firman Allah swt. Dalam surah As-Saffat: 11,
”... Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.”
Sebagaimana diketahui,tanah liat pada dasrnya mempunyai sifat melekat. Al-Qurtubi menguraikan bahwa pada proses ini keadaan tanah melekat atau menempel diantara satu sama lain. Selain itu tanah ini akan menjadi tanah yang keras.
Pada proses ini, al-Qurtubi juga menerangkan didalam tafsirnya bahwa manusia pertama,yaitu yang dikaitkan dengan Adam, berada dalam keadaan ini selama empat puluh tahun, sehingga sifat fisikalnya berubah menjadi keras dan kering.
3. Proses Tanah Berbau
Proses ketiga ini mengarah pada firman Allah swt. Dalam surah Al-Hajr yang berbunyi
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia ( Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.”
Mengikuti tafsiran Dr. Maurice diartikan juga sebagai lumpur atau tanah berorganik dan tidak tertumpu kepada pengertian lain seperti lumpur yang berubah-ubah yang berwarna hitam serta mempunyai bau tersendiri.Ini disebabkan proses penyebatian antara tanah dan air yang telah berlaku.
4. Proses Tanah Keras
Perkataan ini tidak sempurna jika perumpamaanya tidak dijelaskan bersama, yaitu kalifahara yang membawa arti seperti tembikar. Maka jelas bahwa pada proses ini manusia yang ingin diciptakan Allah swt. Berada dalam keadaan yang keras seperti tembikar.
Sebagaimana firman Allah swt., dalam surah Ar-Rahman : 14 yang berbunyi
“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar.”
Abu Hasan Altibrisi menerangkan bahwa dengan fisikal yang kerasa, ia dapat mengeluarkan dentingan bunyi yang gemerincing serta berulang-ulang di udara seperti suara besi yang dipukul angin. Pada tingkat ini menunjukkan bahwa masa Adam menjadi manusia yang lengkap sudah tiba.
Pada proses ini juga hanya dilihat proses terakhir dari aspek fisiknya termasuk tiga proses terawal sebagaimana yang telah diterangkan di atas.
5. Proses Peniupan Roh
Proses yang kelima ini menunjukkan proses penciptaan manusia pertama (Adam) dari aspek spiritual, Setelah aspek fisikalnya telah lengkap hingga ke tahap menjadi satu lembaga. Di dalam kitab Q.S.Al Anbiya penerangan tentang proses penciptaan manusia seterusnya dipaparkan dengan amat jelas.
Dikatakan Allah swt. Meniupkan roh ke dalam diri Adam melalui kepala dan selepas itu malaikat dengan perintah Allah swt. Telah mengajarkan Adam untuk memuji Allah swt. Yaitu Alhamdulillah.
Lalu dia menyebut, apabila roh memasuki bagian matanya, Adam telah bisa melihat dengan jelas buah-buah yang terdapat dalam surga. Selepas itu apabila roh sampai ke bagian kerongkong, Adam ingin makan. Dan sebelum roh sampai ke bahagian kaki, maka Adam segera ingin menjangkau buah tersebut.
Disini terdapat dua persoalan yang dapat dijelaskan. Pertama, apabila merujuk kepada uraian di atas bahwa proses peniupan roh ke dalam jasad Adam berlaku di dalam surga, maka dibuat kesimpulan bahwa tempat penciptaan manusia pertama (Adam) adalah berlaku di dalam surga.
Ini adalah bertepatan dengan pendapat yang menyatakan Adam dicipta di Surga Ma’wa, yaitu tempat kediaman kepada orang-orang shaleh sebagaimana yang diuraikan dalam kitab Hayat Adam.
Persoalan kedua adalah berkenaan dengan sikap gopoh Adam dari proses penciptaanya. Ia dapat dilihat dari sikap manusia yang suka melaksanakan sesuatu perkara dalam keadaan yang tergesa-gesa atau menginginkan sesuatu dalam kadar yang segera.
Sebagaimanan pepatah melayu :
“Belum duduk sudah nak meluncur.”
Dalam hal ini Allah swt.telah menerangkan sikap ini di dalam Al-Qur’an sebagaimana firman Allah swt. dalam surah Al-Anbiya 31 yang berbunyi :
“Manusia telah dijadkan bertabiat tergesa gesa....”
Maka dengan berakhir proses peniupan roh ini , sempurnalah kejadian Adam, yaitu sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah swt. jika dilihat dengan teliti proses penciptaan manusia pertama yang dipaparkan dalam A-Qur’an amat teliti dan uraiannya adalah bersifat kronologi (sesuai urutan waktu).
EKSISTENSI MARTABAT MANUSIA
Tujuan Penciptaan Manusia :
“Dan aku tidak ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepadaku”
(Q.S. Adz-Dzariyaat : 56)
Ayat diatas tersebut merupakan dalil yang berkenaan tentang keberadaan manusia di dunia. Manusia di dunia untuk mengabdi kepada Allah SWT. Bentuk pengabdiannya tersebut berupa pengakuan atas keberadaan Allah SWT, melaksanakan perintahNya serta menjauhi laranganNya.
Sebagai bentuk mengakui keberadaan Allah adalah dengan mengikuti Rukun Iman dan Rukun Islam. Rukun Iman terdiri dari enam perkara, yakni percaya kepada Allah SWT, Malaikat, Nabi-nabi Allah, Kitab-kitab Allah, percaya kepada Hari Kiamat dan percaya terhadap Takdir (Qadha dan Qadar) Allah SWT.
Sebagai wujud keimanan terhadap Allah SWT, Allah SWT menyatakan bahwa manusia tidak cukup hanya meyakini didalam hati dan diucapkan oleh mulut, tetapi manusia harus melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai bagian dari mengabdi kepada Allah SWT adalah menunaikan Rukun Islam, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai karcis masuk Islam, melakukan shalat, membayar zakat, melakukan puasa serta menunaikan ibadah haji.
Dengan demikian dapat disimpulkan keberadaan manusia diciptakan Allah untuk menjadi manusia yang Islami (Islam yang benar). Menjadi Islam yang benar adalah dengan mengerti, memahami dan melaksanakan dalam kehidupan apa yang telah dilarangNya, dengan kata lain secara konsisten melaksanakan Rukun Iman dan Rukun Islam.
Eksistensi manusia di dunia adalah sebagai tanda kekuasaan Allah SWT terhadap hamba-hambaNya, bahwa dialah yang menciptakan, menghidupkan dan menjaga kehidupan manusia. Dengan demikian, tujuan diciptakannya manusia dalam konteks hubungan manusia dengan Allah SWT adalah dengan mengimani Allah SWT dan memikirkan ciptaanNya untuk menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Sedangkan dalam konteks hubungan manusia dengan manusia serta manusia dengan alam adalah untuk berbuat amal, yaitu perbuatan baik dan tidak melakukan kejahatan terhadap sesama manusia, serta tidak merusak alam.
Terkait dengan tujuan hidup manusia dengan manusia lain dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Tujuan Umum Adanya Manusia di Dunia
Dalam al-qur’an Q.S. Al-Anbiya ayat 107 yang artinya :
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk Rahmat bagi semesta alam.”
Ayat ini menerangkan tujuan manusia diciptakan oleh Allah SWT dan berada didunia ini adalah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Arti kata rahmat adalah karunia, kasih sayang dan belas kasih. Jadi manusia sebagai rahmah adalah manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk menebar dan memberikan kasih saying kepada alam semesta.
2. Tujuan Khusus Adanya Manusia di Dunia
Tujuan khusus adanya manusia di dunia adalah sukses di dunia dan di akhirat dengan cara melaksanakan amal shaleh yang merupakan investasi pribadi manusia sebagai individu. Allah berfirman dalam Q.S. An-Nahl ayat 97 yang artinya :
“Barang siapa mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Allah SWT akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan diberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dengan apa yang telah mereka kerjakan.”
3. Tujuan Individu Dalam Keluarga
Manusia di dunia tidak hidup sendirian. Manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai ifat hidup berkelompok dan saling membutuhkan satu sama lain.. Hampir semua manusia, pada awalnya merupkan bgian dari anggota kelompok sosial yang dinamakan keluarga.
Dalam Ilmu komunukasi dan sosiologi kelurga merupakan bagian dari klasifikasi kelompak sosial dan termasuk dalam small group atau kelompok terkecil di karnakan paling sedikit anggotanya terdiri dari dua orang.
Nanun keberadaan keluraga penting karena merupakan bentuk khusus dalm kerangka sistem sosial secara keseluruhan. Small group seolah-olah merupakan miniatur masyarakat yang juga memiliki pembagian kerja, kodo etik pemerintahan, prestige, ideologi dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan tujuan individu daln keluarga adalah agar individu tersebut menemukan ketentraman, kebahagian dan membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Manusia diciptakan berpasang-pasangan. Oleh sebab utu, sudah wajar manusia baik laki-laki dan perempuan membentuk keluarga.
Tujuan manusia berkelurga menurut Q.S. Al-Ruum ayat 21 yang artinya:
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tentram, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang . Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaaum yang mau berfikir."
Tujuan hidup berkeluarga dari setiap manusia adalh supaya tentram. Untuk menjadi keluarga yang tentram, Allah SWT memberikan rasa kasih sayang. Oleh sebab itu, dalam kelurga harus dibangun rasa kasih sayang satu sama lain.
4. Tujuan Individu Dalam Masyarakat
Setelah hidup berkeluarga, maka manusia mempunyai kebutuhan untuk bermasyarakat. Tujuan hidup bermasyarakat adalah keberkahan dalam hidup yang melimpah. Kecukupan kebutuhan hidup ini menyangkut kebutuhan fisik seperti perumahan, makan, pakaian, kebutuhan sosial (bertetangga), kebutuhan rasa aman, dan kebutuhan aktualisasi diri.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat mudah diperoleh apabila masyarakat beriman dan bertakwa. Apabila masyarakat tidak beriman dan bertakwa, maka Allah akan memberikan siksa dan jauh dari keberkahan.
Oleh sebab itu, apabila dalam suatu masyarakat ingin hidup damai dan serba kecukupan, maka kita harus mengajak setiap anggota masyarakat untuk memelihara iman dan takwa.
Allah berfirman :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”
(QS Al-Araaf : 96)
Pada dasarnya manusia memiliki dua hasrat atau keinginan pokok, yaitu:
- Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya yaitu masyarakat
- Keinginan untuk menjadi satu dengan suasan alam di sekelilingnya
Istilah masyarakat dalam Ilmu sosiologi adalah kumpulan individu yang bertempat tinggal di suatu wilayah dengan batas-batastertntu, dimana factor utama yang menjadi dasarnya adalh interaksi yang lebih besar diantara anggot-anggotanya .
5. Tujuan Individu Dalam Bernegara
Sebagai makhluk hidup yang selalu ingin berkembang menemukan jati diri sebagai pribadi yang utuh, maka manusia harus hidup bermasyarakat/bersentuhan dengan dunia sosial. Lebih dari itu manusia sebagai individu dari masyarakat memiliki jangkauan yang lebih luas lagi yakni dalam kehidupan bernegara.
Maka, tujuan individu dalam bernegara adalah menjadi warganegara yang baik di dalam lingkungan negara yang baik yaitu negara yang aman, nyaman serta makmur.
6. Tujuan Individu Dalam Pergaulan Internasional
Setelah kehidupan bernegara, tidak dapat terlepas dari kehidupan internasional / dunia luar. Dengan era globalisasi kita sebagai makhluk hidup yang ingin tetap eksis, maka kita harus bersaing dengan ketat untuk menemukan jati diri serta pengembangan kepribadian.
Jadi tujuan individu dalam pergaulan internasional adalah menjadi individu yang saling membantu dalam kebaikan dan individu yang dapat membedakan mana yang baik dan buruk dalam dunia globalisasi agar tidak kalah dan tersesat dalam percaturan dunia.
Penutup
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul artikel ini.
Penulis banyak berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran agar kami bisa membuat makalah dengan baik lagi. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca. Demikian artikel mengenai Konsep Manusia Dalam Al-Quran, semoga informasi yang diberikan bermanfaat.
Sumber Referensi
Denis. Solehudin. 2013. http://deniz.ucoz.com
Jafar. musaddad. 2013.http://jafarmusaddad.blogspot.com
Imawan. Asrullah. 2012. http://immasrullah.blogspot.com
